Peristiwa Gerakan 30 September atau G30S 1965 menyimpan banyak misteri. Sampai saat ini dalang di balik peristiwa itu masih simpang siur. Selama ini Partai Komunis Indonesia atau PKI yang disebut sebagai dalangnya.
Saat itu, enam jenderal dan satu perwira ABRI menjadi korban. Mereka adalah Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani; Mayor Jenderal Raden Soeprapto; Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono; Mayor Jenderal Siswondo Parman; Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan; Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo; serta Lettu Pierre Andreas Tendean.
Pierre Tendean merupakan ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution. Dia menjadi korban salah sasaran dari pasukan Tjakrabirawa.
Meski demikian, ada hal menarik dalam peristiwa tersebut adalah soal hadirnya Soeharto. Banyak pertanyaan kenapa Soeharto yang saat itu termasuk jenderal tinggi ABRI tidak menjadi korban penculikan dan dibunuh dalam G30S.
Saat itu, Soeharto menjabat Pangkostrad dengan pangkat Mayor Jenderal. Karena tidak menjadi korban, Soeharto pun kemudian belakangan disebut-sebut terlibat dalam peristiwa berdarah 1965 itu.
Soal polemik Soeharto ini diungkapkan oleh salah satu pelaku, Kolonel Abdul Latief. Menurutnya, Soeharto mengetahui rencana penculikan sejumlah jenderal yang disebut bakal mengkudeta Presiden Soekarno.
Hal tersebut diungkap Kolonel Latief dalam persidangan yang dikutip dari buku John Roosa berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto.
Dalam buku itu, Latief bersaksi memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal. "Sehari sebelum kejadian itu saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen Suharto, sewaktu beliau berada di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sedang menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau," kata Latief.
Menurutnya, dirinya bahkan sudah pernah membahas soal isu Dewan Jenderal di rumah Soeharto. Saat itu Soeharto yang menjabat Pangkostrad menyatakan sudah mengetahui isu tersebut dari anak buahnya yang bernama Subagiyo. "Tanggapan beliau akan dilakukan penyelidikan," kata Latief.
Latief pun beralasan kenapa tidak memasukkan nama Soeharto dalam target penculikan. "...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).
Jawaban Soeharto
Sementara itu, dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.
"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto.
Buntut dari peristiwa itu, Pada 11 Maret 1966, muncullah peristiwa Supersemar. Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat meminta Soekarno memberi kuasa untuk mengatasi keadaan saat itu.
Baca Juga
Mengenal 7 Pahlawan Revolusi, Korban Kekejaman G30S PKI
Soekarno pun memberikan surat kuasa kepada Soeharto untuk mengatasi kondisi negara yang sedang carut marut saat itu yang dikenal dengan peristiwa Surat Perintah 11 Maret alias Supersemar.
Peristiwa itu pun disebut memberikan jalan bagi Soeharto menjadi presiden berikutnya. Soeharto pun kemudian menumpas PKI. Sekitar 500.000 orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dihabisi di berbagai penjuru Indonesia.
"Jadi siapa yang sebenarnya telah mengakibatkan terbunuhnya para jenderal tersebut? Saya yang telah memberi laporan lebih dulu kepada Jenderal Soeharto? Atau justru Jenderal Soeharto, yang sudah menerima laporan tetapi tidak berbuat apa-apa?" kata Latief dalam kesaksiannya.
"Sebaliknya, setelah Peristiwa G30S meletus, selain menghantam G30S dan juga membantai ribuan rakyat yang sama sekali tidak tahu apa-apa, mereka bertiga (Soeharto, Umar Wirahadikusumah, dan Basuki Rachmat) kemudian malahan bersama-sama menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno," ujar Latief.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News