Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan sejumlah tekanan yang diterima Komisi Antirasuah. Salah satunya saat dia diperintahkan untuk menghentikan kasus mega skandal e-KTP dengan tersangka Ketua DPR saat itu, Setya Novanto.
Hal tersebut dia ceritakan saat menjadi tamu dalam program Rosi di Kompas TV. Agus Rahardjo merupakan Ketua KPK periode 2015-2019.
Agus mengaku pernah dipanggil ke Istana Negara untuk menghadap Presiden Joko Widodo. Anehnya dia hanya dipanggil sendiri. Sedangkan empat komisioner lainnya tidak dipanggil ke Istana.
Namun akhirnya Agus datang ke Istana Negara. Dia kemudian ditemui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.
Baca juga
Politisi PDIP Bongkar Hubungan Jokowi-Iriana, Gibran Beri Respons Keras
"Di sana begitu saya masuk, Presiden sudah marah. Beliau sudah berteriak, 'Hentikan!' Saya heran yang dihentikan apanya?" cerita Agus dikutip dari YouTube Kompas TV, Jumat, 1 Desember 2023.
"Setelah saya duduk, ternyata saya baru tahu kalau yang disuruh dihentikan itu kasusnya Pak Setnov, Ketua DPR waktu itu, kasus e-KTP. Supaya tidak diteruskan," ujarnya.
Agus mengakui, sebelum Jokowi memanggil, dia sudah menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. "Tiga minggu lalunya saya sudah menerbitkan sprindiknya," ujarnya.
Baca juga
Firli Bahuri Diberhentikan Firli Bahuri dari Ketua KPK, Diganti Nawawi Pomolango
Agus menjelaskan, saat itu KPK tidak diperbolehkan mengghentikan penyidikan sebuah kasus. Namun belakangan, justru muncul revisi UU KPK yang memungkinkan KPK dapat mengeluarkan SP3.
"Tapi akhirnya dilakukan revisi undang-undang nanti kan intinya SP3 menjadi ada, kemudian [KPK] di bawah Presiden. Apa pada waktu itu mungkin Presiden merasa Ketua KPK diperintah Presiden kok enggak mau, apa mungkin begitu," lanjutnya.
Baca juga: Kata Istana Soal Agus Rahardjo Diminta Jokowi Setop Kasus Korupsi e-KTP Setya Novanto
Kilas balik kasus Setya Novanto dalam korupsi e-KTP >>>
Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017. Namun status tersangka itu sempat dibatalkan pengadilan usai gugatan praperadilan Setya Novanto dikabulkan pada 29 September 2017.
KPK kemudian melakukan penyelidikan baru mulai 5 Oktober 2017. Setelah memeriksa sejumlah saksi, KPK akhirnya kembali menetapkan Setnov sebagai tersangka e-KTP pada 10 November 2017.
Setnov sempat dua kali mangkir dipanggil KPK usai ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik pun kemudian melakukan penjemputan paksa terhadap Setnov di rumahnya di Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Melawai, Jakarta Selatan pada 15 November.
Namun, Setnov tak ada di rumah tersebut. Akhirnya KPK memasukkan nama Setnov ke dalam daftar buronan KPK.
Usai kegagalan itu, keesokan harinya, 16 November 2017, Setnov tetiba terlibat suatu kecelakaan. Mobilnya menabrak pohon di daerah Permata Hijau. Saat itu pengacara Setnov menyatakan kliennya harus dilarikan ke rumah sakit karena dahinya benjol sebesar bakpao.
KPK mencium hal ini sebagai taktik akal bulus Setnov saja. Pada 17 November, KPK menahan Setnov dan kemudian dibawa ke RSCM.
Usai drama penangkapan, kasus Setnov akhirnya masuk persidangan pada 7 Desember 2017. Setelah persidangan berjalan, jaksa akhirnya menuntut Setnov 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Selain itu Setnov juga wajib membayar uang pengganti US$7,435 dikurangi Rp5 miliar.
Pada 24 April 2018, Setnov divonis 15 tahun penjara. Dia juga harus membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Artikel lainnya: Liga Europa: Liverpool-Leverkusen ke 16 Besar, Brighton Buka Peluang, Roma Tertahan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News