Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK terkait batas usia capres dan cawapres berbuntut panjang. Kini para hakim dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Terbaru, Hakim Saldi Isra yang dilaporkan gegara isi dissenting opinionnya.
Dalam putusannya, MK mengabulkan gugatan yang diajukan Mahasiswa UNS Almas Tsaqibbirru, yang kemudian diketahui sebagai pengagum Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka.
Putusan MK itu kemudian mengubah isi pasal 169 huruf q UU Pemilu. Frasa ditambahkan menjadi: 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.'
Putusan itu tidak bulat. Sejumlah hakim mengajukan dissenting opinion alias perbedaan pendapat. Salah satunya Saldi Isra yang berpendapat putusan MK tersebut aneh.
Baca juga
Putusan MK: Belum 40 Tahun Tapi Pernah Jadi Kepala Daerah Bisa Jadi Capres-Cawapres
Ketum Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP ARUN), Bob Hasan, pun melaporkan Saldi Isra ke MKMK atas isi dissenting opinion tersebut.
"Itu adalah opini dari beberapa hakim bila ada perbedaan pendapat. Dan itu harus diungkapkan secara lugas, etik, sebagaimana objek perkara," kata Bob Hasan dalam keterangannya, Jumat, 20 Oktober 2023.
"Bukan tentang kenapa ini baru datang, bukan tentang kenapa ini baru datang. Bukan tentang mesti yang aneh. Itu bukan bentuk dissenting opinion," ujarnya.
"Amar putusan harus ditaati. Namun demikian, akibat dari dissenting opinion yang subjektif dan membunuh karakter hakim konstitusi lain. Itu yang kita laporkan," kata dia.
"Ada hakim yang kita laporkan karena beliau bilang ini adalah pertimbangan aneh, tiba tiba diputuskan begitu saja. Opini bukan dissenting opinion tapi opini publik sehingga membuat kacau balau publik menilai putusan," sambungnya.
Baca juga
Hakim Saldi Isra Ungkap Putusan Batas Usia Capres Berubah Usai Anwar Usman Ikut Rapat
"Hakim konstitusi ini yang telah menyatakan sesuatu yang bisa meluluhlantahkan Marwah MK. Hakimnya Saldi Isra," ucap Bob.
Kepala Bidang Hukum dan HAM ARUN, Yudi Rijali Muslim, juga menilai pendapat hukum Saldi Isra dalam putusan tersebut telah menimbulkan perpecahan. Dia menganggap Saldi Isra provokatif, sehingga masyarakat tidak dapat mencerna dengan baik isi putusan.
"Nah itulah kemudian yang dijadikan sebagai meme-meme sehingga akhirnya opini di masyarakat kesannya adalah [...] Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga, kemudian Mahkamah kesannya kemudian tidak ada marwah dalam proses penegakan hukum," ucapnya.
Saldi Isra Singgung Peranan Anwar Usman
Saldi Isra diketahui mengajukan dissenting opinion terkait putusan MK yang mengesahkan kepala daerah belum 40 tahun bisa maju pilpres. Dia menolak permohonan tersebut dan menilai, objek putusan seharusnya tidak ditangani oleh MK tetapi DPR.
Saldi Isra pun menyoroti soal soal perubahan sikap hakim MK dalam permohonan tersebut.
Sebab dalam tiga permohonan sebelumnya, yakni nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, mayoritas hakim MK menyatakan urusan usia dalam norma pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang, bukan mahkamah.
Ketiga putusan itu berdasarkan Rapat Permusyawaratan Hakim pada 19 September 2023. Dalam RPH yang tak dihadiri Anwar Usman itu, mayoritas hakim menolak gugatan.
Saldi mengatakan, putusan tiga gugatan itu sejatinya telah menutup ruangan adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Namun, dalam RPH untuk perkara yang diajukan Almas, Anwar Usman tetiba hadir. Hasilnya, MK mengabulkan gugatan tersebut sebagian.
"Saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda ini," kata Saldi.
"Saya menolak permohonan a quo, dan seharusnya Mahkamah pun menolak permohonan a quo," tegasnya.
"Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan sebelumnya," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News