Ribuan warga negara Indonesia memilih untuk melepas status sebagai WNI dan memilih pindah menjadi WN Singapura. Para WNI tersebut diketahui memiliki talenta yang tinggi.
Apa yang menjadi motivasi WNI pindah menajdi WN Singapura?
Melansir BBC News Indonesia, seorang bekas WNI bernama Septian Hartono mengungkapkan alasannya menjadi WN Singapura. Menurutnya, hal tersebut dimulai saat dia mendapatkan beasiswa untuk kuliah S1 di Nanyang Technological University pada 2003.
Menurutnya, sebagai penerima beasiswa, Septian diwajibkan bekerja di perusahaan Singapura selama tiga tahun. Usai tinggal di Singapura selama sekitar 7 tahun, Septian mendapatkan status permanent resident. Hingga akhirnya pada 2020, usai 15 tahun menetap di Singapura, Septian beralih menjadi WN Singapura.
Hal tersebut pun didukung saat dia menikah dengan seorang perempuan asal Indonesia yang juga mendapat beasiswa di NTU. Usai dikaruniai anak, mereka akhirnya memutuskan tinggal dalam jangka panjang di Singapura.
“Setelah itu, make sense kalau kita convert (pindah kewarganegaraan),” katanya kepada BBC News Indonesia.
Dirjen Imigrasi Indonesia, Silmy Hakim mengatakan, sebanyak 1.000 mahasiswa RI berusia 25 sampai 35 tahun, pindah menjadi warga negara Singapura setiap tahun.
Belakangan, Silmy mengklarifikasi kepada BBC News Indonesia bahwa 1.000 orang tersebut tidak hanya terdiri dari mahasiswa, tetapi orang-orang yang memiliki keahlian khusus atau talenta-talenta baik.
Silmy mengatakan, data 1.000 WNI per tahun itu berasal dari tahun 2019-2022.
Menurutnya, alasan para mantan WNI berpindah kewarganegaraan itu seperti kesempatan bekerja, infrastruktur, dan pendidikan yang lebih baik.
Alasan pragmatis
Septian Hartono menambahkan, keputusan berganti menjadi WN Singapura tidak diputuskan begitu saja. Menurutnya, keputusan itu diambil setelah 15 tahun berkali-kali mempertimbangkan untuk pulang ke Indonesia tetapi akhirnya memutuskan untuk tinggal karena alasan pragmatis.
Karier menjadi salah satu faktor yang menentukan. Septian bekerja sebagai teknisi kesehatan di rumah sakit umum terbesar di Singapura dan dia merasa apa yang dia kerjakan sekarang belum ada di Indonesia —atau kalaupun ada, levelnya tidak sama seperti di Singapura.
Selain itu, faktor lainnya adalah standar hidup di Singapura yang dinilai lebih baik dari Indonesia.
“Di Singapura keluarga kami bisa tinggal di rumah susun publik, ke mana-mana menggunakan transportasi publik, sekolah [anak] di sekolah negeri, saya bekerja di RS Umum, jadi lebih ke... Saya melihat bahwa hidup yang so-called baik itu justru hidup yang bisa menikmati fasilitas-fasilitas publik ini,” kata Septian.
“Adik saya tinggal di Jakarta dan dia juga sudah punya anak. Saya lihat justru mungkin anak dia tuh biaya hidupnya lebih tinggi dari anak saya. Sekolah (swasta) lebih mahal, ke mana-mana mesti diantar-jemput naik mobil, segala macam,” tambahnya.
“Ketika aku pindah tidak berarti aku meninggalkan ke-Indonesia-anku. Justru aku menjabarkan identitasku sekarang sebagai Indonesian-Singaporean,” ujarnya.
“Aku di sini juga kan ke gereja yang isinya komunitas orang Indonesia. Itu juga menarik; lebih dari setengah mungkin sudah warga Singapura, cuma tetap ada kekhasannya sebagai orang Indonesia-Singapura. Di satu sisi memperkaya identitas Singapura itu sendiri, di sisi lain juga tetap ada link dengan negara asal, Indonesia,” paparnya.
Selanjutnya iming-iming beasiswa >>>
Warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai akademisi di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amar mengungapkan cara Singapura menggaet warga negara baru salah satunya adalah dengan memberikan beasiswa.
Dua universitas yang rajin memberikan beasiswa kepada warga negara non-Singapura aadalah NTU dan National University of Singapore (NUS).
Beasiswa itu berupa hibah biaya pendidikan atau tuition grant untuk studi sarjana selama maksimal empat tahun. Namun ada syaratnya: setelah penerima beasiswa harus bekerja di perusahaan Singapura selama tiga sampai empat tahun.
“Nah biasanya anak anak yang pindah jadi warga negara Singapura itu adalah mereka yang sudah menikmati berbagai fasilitas yang disediakan oleh pemerintah Singapura baik itu fasilitas pendidikan maupun fasilitas publik yang lain seperti misalnya transportasi publik, kesehatan, dan sebagainya,” kata Prof. Sulfikar.
“Belum lagi kita bicara tentang kondisi kota yang jauh lebih baik dari kota-kota manapun di Indonesia ya. Polusinya itu sangat rendah ya kemudian transportasi publiknya yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Jadi nyaman lah,” tambahnya.
Faktor yang memperkuat alasan WNI pindah menjadi WN Singapura adalah soal paspor. Sebab paspor Singapura merupakan salah satu paspor paling sakti di dunia. Paspor Singapura menempati peringkat ke lima dalam daftar Passport Index dan dapat masuk ke 127 negara tanpa visa.
“Sementara kita pakai paspor Indonesia ke mana-mana itu, aduh, diperlakukan sangat tidak enak ketika kita minta visa,” kata Prof. Sulfikar.
Meski demikian, Prof. Sulfikar mengatakan para WNI yang jadi WN Singapura sesungguhnya tidak pernah benci atau kecewa dengan Indonesia.
“Tapi mereka melihat bahwa mungkin pekerjaan mereka itu tidak terlalu dihargai kalau mereka tetap ada di Indonesia; khususnya teman-teman yang ada di dunia akademik ya, atau di dunia pendidikan. Lalu kemudian ada alasan-alasan yang bersifat personal yang tentu saja sangat kompleks,” jelas dia.
Penambahan jumlah penduduk dengan cara perekrutan lewat jalur pendidikan ini merupakan salah satu upaya Singapura menambah populasinya dari saat ini sekitar 5 juta menjadi 6,9 juta pada 2030.
Waspada ‘brain drain’
Dirjen Imigrasi Silmy Hakim mengatakan wajar WNI beralih menjadi WN Singapura dengan alasan ingin mendapatkan kesempatan dan kehidupan yang lebih baik.
Namun, jumlahnya terlalu banyak. Apalagi mereka yang memilih keluar dari Indonesia itu berada di usia produktif. Hal ini patut menjadi “alarm” akan kemungkinan pelarian modal manusia atau brain drain di Indonesia.
“Ini fenomenanya kan yang pindah itu adalah orang-orang produktif memiliki keahlian, expertise, dan talenta-talenta baik ini kan merupakan aset. Bagaimana kita menjaga mereka supaya ada di Indonesia? Itu kan menjadi PR bersama,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Duta besar Indonesia di Singapura, Suryopratomo, mengungkapkan angka 1.000 WNI yang hijrah ke Singapura per tahun tergolong sedikit jika dibandingkan jumlah WNI di Singapura yang sekitar 250.000.
“Banyak orang yang pertama waktu Covid itu memutuskan untuk menjadi warga negara Singapura karena mereka lebih merasa lebih akan lebih aman hidupnya kalau nanti terjadi pandemi lain,” kata Suryopratomo kepada BBC News Indonesia.
“Kita tahu bahwa ternyata memang brain drain itu terjadi. Nah pertanyaannya adalah kita menyalahkan siapa? Menyalahkan orang dianggap tidak punya nasionalisme? Karena orang bukan cuma sekedar butuh uang, tapi dia butuh aktualisasi diri sebagai manusia dan itu kalau dia punya pekerjaan,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News