SD Inpres kini tengah menjadi sorotan usai komentar dari Presiden Joko Widodo terkait proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN.
Awalnya Presiden Jokowi ditanya soal keterlibatan mandor bule dalam proyek IKN. Penggunaan mandor bule ini sebelumnya diusulkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
"Mandor apa, beda loh mandor sama pengawas. Memang sudah diusulkan dalam rapat kalau hanya satu, dua untuk urusan kualitas barang nanti yang dihasilkan," kata Jokowi di Pasar Menteng Pulo, Jakarta Selatan, Kamis, 15 Juni 2023.
Jokowi lantas melontarkan pernyataan yang di luar dugaan.
"Ndak-ndak ya karena kita ingin menaikan level kualitas kita. Jangan nanti hasilnya nanti kayak SD Inpres, mau?" kata Jokowi.
Baca juga
Setuju Usul Luhut Soal Mandor Bule, Jokowi Tak Mau Proyek IKN Kayak SD Inpres
Apa itu SD Inpres?
Melansir laman Indonesia.go.id, SD Inpres merupakan kebijakan dari Presiden ke-2 RI, Soeharto. Kebijakan ini sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar.
Landasan dari kebijakan ini adalah semangat untuk mewujudkan kesempatan yang sama di dunia pendidikan. Hingga periode 1993-1994, tercatat hampir 150 ribu unit SD Inpres dibangun. Seiring dengan kebijakan itu, sudah lebih dari 1 juta guru yang ditempatkan di SD Inpres tersebut.
Total dana yang dikeluarkan untuk program SD Inpres hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) I mencapai hampir Rp6,5 triliun.
Atas keberhasilan program SD Inpres ini, UNESCO memberikan penghargaan kepada Presiden Soeharto berupa Piagam The Avicenna pada 19 Juni 1993.
Nama piagam ini diambil dari nama seorang tokoh ilmu pengetahuan dari Dunia Islam di abad X di Timur. Sohor dipanggil dengan nama lbnu Sina. Ia seorang filosof dan ilmuwan yang merintis bidang ilmu kedokteran, oleh UNESCO nama besarnya ditempatkan menjadi simbolisasi penghargaan di bidang pendidikan dan etik dalam sains.
Diganjar Penghargaan Nobel >>>
Program SD Inpres ini ternyata mendapat perhatian serius dari ekonom yang tinggal di Amerika Serikat, Esther Duflo. Dia adalah profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Duflo melakukan penelitian soal SD Inpres di Indonesia pada era 1973-1978. Menurut Duflo di sepanjang antara tahun 1973-1974 hingga 1978-1979 Indonesia telah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru. Tiap sekolah menampung 500 anak-anak. Total biaya yang dikeluarkan lebih dari 500 juta dollar AS atau setara 1,5 persen dari GDP tahun 1973.
Penelitian Duflo ini diterbitkan dengan judul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment” pada tahun 2000. Dalam artikelnya itu Duflo mencatat, program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar yang pernah tercatat saat itu, yaitu pada 1973 – 1974.
SD Inpres muncul di era Soeharto untuk memperluas kesempatan belajar di perdesaan maupun perkotaan yang warganya berpenghasilan rendah. Program ini terlaksana berkat karena tak terlepas dari berkah bonanza minyak dunia yang nilai jualnya melonjak tinggi ketika itu.
Duflo menjelaskan, bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia 2-6 tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Program SD Inpres, menurut penelitian Duflo, secara khusus telah mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan lebih banyak tahun pendidikan dasar. Peningkatan ini telah diterjemahkan ke dalam peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Menurut hitungannya, keberhasilan pembangunan pendidikan ini bahkan memberikan dampak pengembalian ekonomi sekitar 6,8 hingga 10,6 persen.
“Saya mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh durasi program,” tulis Esther Duflo.
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan SD Inpres sebagai variabel instrumental dan dampak pendidikan terhadap upah pekerja, Duflo menyimpulkan kebijakan ini sukses "meningkatkan" perkonomian. Dampaknya di tahun 1988 tercatat Angka Partisipasi Murni (APM) SD mencapai 99,6 persen. Lalu, tercatat di tahun 1990 jumlah masyarakat buta aksara turun hingga 15,8 persen. Lama masa pendidikan pun berdampak pada peningkatan upah sebesar 3 - 5,4 persen.
Penelitian Duflo ini pun akhirnya diganjar dengan Hadiah Nobel Ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News