Program SD Inpres ini ternyata mendapat perhatian serius dari ekonom yang tinggal di Amerika Serikat, Esther Duflo. Dia adalah profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Duflo melakukan penelitian soal SD Inpres di Indonesia pada era 1973-1978. Menurut Duflo di sepanjang antara tahun 1973-1974 hingga 1978-1979 Indonesia telah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru. Tiap sekolah menampung 500 anak-anak. Total biaya yang dikeluarkan lebih dari 500 juta dollar AS atau setara 1,5 persen dari GDP tahun 1973.
Penelitian Duflo ini diterbitkan dengan judul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment” pada tahun 2000. Dalam artikelnya itu Duflo mencatat, program SD Inpres merupakan salah satu program pembangunan sekolah terbesar yang pernah tercatat saat itu, yaitu pada 1973 – 1974.
SD Inpres muncul di era Soeharto untuk memperluas kesempatan belajar di perdesaan maupun perkotaan yang warganya berpenghasilan rendah. Program ini terlaksana berkat karena tak terlepas dari berkah bonanza minyak dunia yang nilai jualnya melonjak tinggi ketika itu.
Duflo menjelaskan, bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia 2-6 tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Program SD Inpres, menurut penelitian Duflo, secara khusus telah mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan lebih banyak tahun pendidikan dasar. Peningkatan ini telah diterjemahkan ke dalam peningkatan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Menurut hitungannya, keberhasilan pembangunan pendidikan ini bahkan memberikan dampak pengembalian ekonomi sekitar 6,8 hingga 10,6 persen.
“Saya mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh durasi program,” tulis Esther Duflo.
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan SD Inpres sebagai variabel instrumental dan dampak pendidikan terhadap upah pekerja, Duflo menyimpulkan kebijakan ini sukses "meningkatkan" perkonomian. Dampaknya di tahun 1988 tercatat Angka Partisipasi Murni (APM) SD mencapai 99,6 persen. Lalu, tercatat di tahun 1990 jumlah masyarakat buta aksara turun hingga 15,8 persen. Lama masa pendidikan pun berdampak pada peningkatan upah sebesar 3 - 5,4 persen.
Penelitian Duflo ini pun akhirnya diganjar dengan Hadiah Nobel Ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News