16 Agustus 1945, 76 tahun silam, menjadi tanggal penting bagi bangsa Indonesia. Saat itulah, rumusan kemerdekaan dibahas oleh pemuda-pemuda Indonesia yang dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok.
Usai Jepang menyerah kepada sekutu pada 14 Agustus 1945, para pemuda yang dimotori Chaerul Saleh, saat itu sangat bergelora untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Namun, ada perbedaan pendapat antara generasi muda dengan golongan tua soal pelaksanaan proklamasi. Soekarno dan Mohammad Hatta yang mewakili golongan tua memikirkan perhitungan politik.
Bung Karno dan Bung Hatta menilai untuk memproklamasikan kemerdekaan diperlukan revolusi yang terorganisir dengan baik. Karenanya, kerjasama dengan Jepang masih diperlukan agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Bung Karno dan Bung Hatta ingin membahas pelaksanaan proklamasi dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebab, dengan demikian pelaksanaan proklamasi tidak akan menyimpang dari ketentuan Jepang.
Namun, ada pertentangan dari generasi muda. Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, menilai PPKI adalah buatan Jepang. Mereka tidak ingin ada embel-embel Jepang dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Perdebatan Panas di Rumah Bung Karno >>>
Akhirnya, pada 15 Agustus 1945, sekitar pukul 22.00, Chaerul Saleh cs bertemu dengan Bung Karno di kediamannya di Jl Pegangsaan Timur No 56, Jakarta. Terjadi diskusi panas membahas proklamasi kemerekaan Indonesia.
Dalam perdebatan itu, golongan muda tetap bersikeras pelaksanaan proklamasi kemerdekaan harus segera dilakukan, jika perlu saat itu juga. Mereka bahkan mengaku siap melawan tentara Jepang jika terjadi pertumpahan darah. Namun, Bung Karno saat itu berpandangan kekuatan para pejuang belum cukup untuk melawan kekuatan bersenjata tentara Jepang.
Setelah tak juga mendapatkan titik temu, Bung Karno akhirnya berunding kepada sejumlah tokoh dari golongan tua, di antaranya Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Namun, hasil perundingan itu ternyata tak sesuai dengan keinginan golongan muda.
Saat itu, Hatta mengatakan, hasil keputusan yang didapat tidak menyetujui keinginan golongan muda. Sebab dinilai kurang perhitungan dan dapat menimbulkan banyak korban jiwa.
Bung Karno-Hatta Diculik ke Rengasdengklok >>>
Golongan muda tidak menyetujui hasil keputusan di kediaman Bung Karno itu. Mereka pun kemudian 'menculik' Bung Karno dan Bung Hatta, pada Kamis 16 Agustus 1945 sekitar pukul 04.00 WIB.
Meski kecewa dan marah atas 'penculikan' itu, Bung Karno dan Bung Hatta tetap mengikuti keinginan para pemuda untuk menghindari adanya keributan. Saat itu, Bung Karno mengikutsertakan sang istri, Fatmawati dan anaknya, Guntur, yang masih balita.
Keduanya kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil di dekat karawang yakni Rengasdengklok. Letak Rengasdengklok yang terpencil menjadi salah satu alasan para pemuda memilih tempat itu agar mudah mendeteksi pergerakan tentara Jepang jika menuju tempat itu.
Kesepakatan Proklamasi 17 Agustus >>>
Pertemuan Rengasdengklok pun membawa hasil terang. Bung Karno akhirnya setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Sejumlah alasan disampaikan oleh Bung Karno soal pemilihan 17 Agustus 1945. Sementara itu, kesepakatan terjadi di Jakarta antara golongan tua yang diwakili Ahmad Soebardjo dengan golongan muda yang diwakili Wikana. Saat itu keduanya sepakat proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan di Jakarta.
Berbekal kesepakatan itu, Bung Karno dan Bung Hatta kemudian dijemput Ahmad Soebardjo untuk kembali ke Jakarta. Saat itu, Ahmad Soebardjo menjanjikan kepada para pemuda yang berada di Rengasdengklok bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dilaksanakan pada 17 Agustus 1945 p[aling lambat pukul 12.00 WIB.
Atas jaminan itu, kedua proklamator itu kemudian diizinkan kembali ke Jakarta.
Akhirnya, pada Jumat, 17 Agustus 1945, Bung Karno didampingi Bung Hatta, membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Merdeka!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News