Ikatan Dokter Indonesia atau IDI akhirnya mengungkapkan sejumlah pelanggaran atau dosa etik kedokteran yang dilakukan dokter Terawan Agus Putranto.
Pelanggaran ini terkait dengan terapi Cuci Otak yang dijalankan mantan Menteri Kesehatan itu. Akibatnya, dokter Terawan direkomendasikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran agar dipecat.
Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota PB IDI, Dr dr Beni Satria, mengungkapkan dosa etik dokter Terawan terkait metode diagnostik Digital Substraction Angiography (DSA) yang dimodifikasinya dengan nama intra-arterial heparin flushing (IAHF) alias 'cuci otak' (brain washing) untuk penderita stroke.
Dari terapi itu, dokter Terawan bahkan menarik biaya fantastis dari pasien yang ditanganinya. "Bahkan sampai ratusan juta rupiah," kata Beni pada keterangan virtual, Jumat, 1 April 2022.
Baca Juga
Mengenal Terapi Cuci Otak yang Bikin Dokter Terawan Berpolemik dengan IDI
Berikut pelanggaran etik dokter Terawan:
- mengiklankan diri secara berlebihan dengan klaim tindakan untuk pengobatan (kuratif) dan pencegahan (preventif);
- tidak kooperatif/mengindahkan undangan Divisi Pembinaan MKEK PB IDI, termasuk undangan menghadiri sidang Kemahkamahan;
- menarik bayaran dalam jumlah besar pada tindakan yang belum ada Evidence Based Medicine (EBM)-nya;
- menjanjikan kesembuhan kepada pasien setelah menjalani tindakan BW
Baca Juga
Bukan Gegara Vaksin Nusantara, Ini Alasan MKEK Pecat Eks Menkes Dokter Terawan
PB IDI menyatakan ada tiga pertimbangan yang diambil:
a. Terlapor dinilai kurang berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan tindakan/teknik kedokteran yang sebenarnya adalah murni tindakan diagnostik yaitu DSA, seakan-akan menjadi bentuk pengobatan baru (Pasal 6 KODEKI: Bijak dalam menyikapi penemuan baru). Pengumuman tersebut disebar-luaskan dalam media sosial yang tidak tepat, karena sebagai dokter seharusnya secara etik wajib mengumumkan ke media kedokteran agar teruji validitasnya
b. Bukan merupakan rahasia lagi di masyarakat mengenai tingginya biaya yang dipungut untuk tindakan BW. Pasien harus membayar dalam jumlah dana yang fantastis untuk ukuran prosedur yang sebenarnya hanya untuk diagnostik, maka jelas sejawat yang melakukan BW tidak berada dalam fase penelitian, tetapi sudah pada fase penerapan di masyarakat; hal ini sudah termasuk pelanggaran etik dalam dunia kedokteran dan farmasi.
Terlebih pada masa tindakan tersebut belum dipublikasi secara ilmiah, sewajarnya tidak diumumkan dan diterapkan terlebih dahulu dengan meminta imbalan jasa medik yang besar
c. Dr. TAP sudah empat kali memberikan jawaban tidak patut untuk tidak menghadiri undangan MKEK PB IDI ditengarai merintangi upaya penegakan etik profesi kedokteran (obstruction of ethics) dari lembaga MKEK yang seharusnya dihormati bersama.
Artikel lainnya
- Presiden Jokowi Kucurkan BLT Minyak Goreng, Ini Fakta-faktanya
- Sholat Tarawih 11 Rakaat atau 23 Rakaat, Mana yang Lebih Afdal?
- Siapa Arief Rosyid, Sosok yang Dipecat DMI Gegara Palsukan Tanda Tangan Jusuf Kalla
- Ikuti Langkah Pertamina Naikkan Pertamax, Harga BBM Shell Naik Jadi Rp16 Ribu
- Usai Kalah dari Azka Corbuzier, Vicky Prasetyo Tantang Deddy Corbuzier
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News