Pengangkatan Izederik Emir Moeis sebagai Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda menuai kontriversi. Sebab, politisi senior PDI Perjuangan itu adalah mantan narapidana kasus korupsi.
Berdasarkan keterangan di laman PT Pupuk Iskandar Muda, Emir Moeis ditunjuk sebagai komisaris sejak 18 Februari 2021.
Baca Juga: Emir Moeis, Mantan Napi Korupsi Ditunjuk Jadi Komisaris BUMN
Untuk menjadi komisaris BUMN, harus memenuhi sejumlah syarat. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri BUMN atau Permen BUMN Nomor PER-04/MBU/06/2020, yang merupakan perubahan dari peraturan sebelumnya Nomor Per-03/MBU/2012.
Pada pasal 4 ayat (1) huruf e peraturan tersebut, disebutkan salah satu syarat anggota dewan komisaris adalah tidak pernah dihukum.
"Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pencalonan."
Untuk diketahui, Emir Moeis terjerat kasus korupsi proyek pembangunan PLTU Tarahan, Lampung, pada 2004. Dia terlibat dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.
Baca Juga: Profil dan Kekayaan Emir Moeis, Mantan Koruptor yang Ditunjuk Jadi Komisaris BUMN
Pada 2014, Hakim memvonis Emir Moeis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan penjara. Mantan bendahara umum PDI Perjuangan itu terbukti menerima suap senilai US$ 357 ribu dari Konsorsium Alstom Power Inc yang mendaftar jadi salah satu peserta lelang.
Emir Moeis menjalani hukuman itu pada 2014. Dan pada 2016, Emir bebas dari LP Sukamiskin.
Emir diangkat jadi komisaris pada 2021. Berarti sudah lima tahun pengangkatan itu dilakukan sejak Emir bebas.
Perjalanan kasus korupsi
Emir Moeis adalah mantan terpidana dalam suap yang menyeret konsorsium Alstom Power Incorporate Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate Jepang.
Pada 14 April 2014, pengadilan menghukum Emir Moeis dengan 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim menilai Emir Moeis terbukti menerima hadiah atau janji dari konsorsium Alstom Power Incorporate Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate Jepang sebesar US$ 357 ribu saat menjabat Wakil Ketua Komisi Energi DPR.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 3 tahun dan denda Rp 150 juta dengan ketentuan jika denda tak dibayar diganti kurungan selama 3 bulan," kata ketua majelis hakim Matheus Samiaji saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Hukuman ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelumnya, mereka meminta majelis menghukum mantan Ketua Komisi Keuangan DPR tersebut dengan pidana 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan.
Hakim menilai duit itu sebagai hadiah lantaran Emir mengupayakan konsorsium Alstom Power menjadi pemenang proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung, pada 2004.
Hakim Sofialdi mengatakan agar menang dalam lelang proyek PLTU Tarahan tahun 2004, konsorsium Alstom menunjuk Presiden Pasific Resources Inc, Pirooz Muhammad Sarafi untuk mengurus proyek tersebut. Pirooz dianggap memiliki hubungan dengan pejabat di Indonesia serta menjadi teman Emir semasa menjadi mahasiswa di Amerika Serikat. Pirooz kemudian berusaha meminta bantuan Emir.
Emir, kata Sofialdi, dijanjikan mendapat bagian fee yang diterima deri Alstom setelah tender dimenangkan konsorsium Alstom Power. Pada 2005 dan 2006, menurut dia, Pirooz mendapat bayaran fee dari Alstom US$ 506.308 atau 1 persen dari nilai kontrak. Namun, tidak semuanya dikirim ke Emir.
Uang tersebut beberapa kali dikirim ke Emir melalui rekening PT Artha Nusantara Utama untuk menyamarkan suap. Setelah uang dari Pirooz masuk ke PT ANU, Emir meminta Yuliansah Zulkarnain menyetorkan US$ 357 ribu ke rekeningnya di Bank Century.
Emir dan Alstom Power Inc beberapa kali bertemu untuk membahas pemenangan konsorsium Alstom Power Inc. Beberapa pertemuan itu dilakukan di Prancis dan Washington D.C., Amerika Serikat, pada Desember 2002 atas biaya Alstom. Konsorsium Alstom akhirnya diputuskan menjadi pemenang dalam pekerjaan dengan nilai kontrak US$ 117,281 ribu dan Rp 8,917 miliar tersebut pada 6 Mei 2004.
Dua anggota majelis hakim, yakni Afiantara dan Anas Mustakim memberikan pendapat beda dalam menghukum Emir. Afiantara dan Anas menilai Emir menerima duit US$ 423 ribu dolar. "Meskipun menerima duit, Emir tidak melakukan fungsi pengawasan sebagai anggota DPR untuk proyek Tarahan," ujar Afiantara.
Pada 2016, Emir Moeis bebas setelah menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News