Masalah karantina Covid-19 di Indonesia kembali mencuat. Kini membuat Presiden Joko Widodo dan Menteri Pariwisata dan ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, murka atas kasus kekarantinaan.
Adanya dugaan mafia karantina di Indonesia sebenarnya sudah mencuat saat selebgram Rachel Vennya bisa bebas tidak mengikuti karantina. Dengan membayar Rp40 juta Rachel bersama kekasihnya, Salim Nauderer, bisa tidak ikut karantina usai melancong dari Amerika Serikat.
Karena bersikap sopan, Rachel Vennya dan kekasihnya hanya divonis 4 bulan penjara gegara tidak ikut karantina. Sementara kasus pemberian uang Rp40 juta masih belum jelas pengusutannya.
Baca Juga
Rachel Vennya Divonis 4 Bulan Penjara dan Denda Rp50 Juta, tapi Tak Ditahan
Polda Metro Jaya juga telah menangkap 11 tersangka yang diduga meloloskan penumpang dari India tanpa karantina.
Lima tersangka adalah warga India yang tidak menjalani karantina. Dua tersangka warga India yang membantu bebas dari karantina, dan empat warga Indonesia sebagai calo yang dibayar Rp6,5 juta.
Kini kasus kekarantinaan kembali mencuat saat dua WNA teriak soal karantina di salah satu hotel di Jakarta. Di penghujung karantina hendak berakhir, mereka tiba-tiba divonis positif Covid-19.
Baca Juga
Rachel Vennya Disebut Dapat Duit Buat Karantina, Eh Malah Kabur
Seperti yang dialami turis asal Ukraina. Pengalaman turis itu diunggah oleh Sandiaga Uno di akun Instagramnya.
"Di hari terakhir karantina, di salah satu hotel di Jakarta, mereka mendapat kabar bahwa tes PCR yang mereka ambil sebelum meninggalkan hotel menunjukkan hasil 'positif'," tulis Sandiaga.
Turis itu merasa ditipu oleh pihak hotel. Karena satu hari sebelum keluar dari hotel dia dinyatakan positif Covid-19.
Turis itu meminta agar melakukan tes PCR dari luar untuk membandingkan hasil tes dari hotel. Namun permintaannya ditolak.
"Itu tidak adil dan benar-benar keterlaluan. Kami tidak memiliki gejala apa pun dan isolasi tambahan sangat mahal, jadi pasti saya merasa bahwa kami ditipu."
"Saya memiliki teman yang berada di rumah sakit karantina yang diperlakukan seperti sandera, tanpa gejala apa pun dan saya memiliki anak bersama saya ... itu sulit dipercaya dan saya butuh bantuan," kata turis itu.
Pengalaman serupa juga dialami WN Amerika Serikat bernama Matthew Joseph Martin. Matthew yang telah enam tahun menetap di Indonesia datang ke Tanah Air bersama anaknya pada 30 Desember 2021.
Pengakuan WN Amerika soal karantina di Indonesia
Sebelum berangkat ke Indonesia, Matthew sudah tes PCR di AS dan hasilnya negatif. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, hasl tes PCR Matthew dan anaknya juga negatif.
Berdasarkan aturan, Matthew dan anaknya kemudian karantina di salah satu hotel di Jakarta. Biayanya Rp16,5 juta untuk 10 hari.
Dua hari jelang keluar karantina, mereka kembali dites PCR. Hasilnya mereka positif Covid-19.
"Saya dikasih tahu lewat telepon kamar, hasilnya positif. Tidak ada surat hasil tesnya, CT saya berapa, saya tidak tahu," kata Matthew dilansir BBC News Indonesia.
Matthew kemudian diminta petugas untuk pindah ke hotel isolasi. Namun dia menolak dan meminta untuk tes PCR ulang untuk membandingkan hasil tes sebelumnya.
"Karena kami pernah mendengar cerita adanya penipuan. Tapi ditolak dan kalau minta lagi, diancam dideportasi. Petugasnya tidak jelas dari mana, apakah dari Satgas Covid, atau petugas hotel, tidak menunjukkan identitasnya, membuat kami tidak nyaman, kami dipaksa pindah ke hotel isolasi," ujarnya.
Namun, Matthew tak berdaya. Dia diharuskan pindah ke hotel isolasi. Berdasarkan brosur yang diterima, kondisi hotel tersebut terlihat baik.
"Kami pun harus membayar Rp650.000 untuk pindah hotel dengan jarak 1,5 kilometer," kata Matthew.
Namun kondisi hotel tersebut ternyata sangat buruk. Meski demikian, Matthew mengaku tidak mempunyai pilihan dan tetap menjalani isolasi hingga dinyatakan negatif dan diizinkan keluar hotel.
"Selama 18 hari di hotel, semua prosedur tidak jelas, tidak ada yang beri tahu kami SOP-nya, semuanya berantakan. Kami merasa ditipu dan bahkan diancam dideportasi, jadi banyak dari kami (turis asing) yang memilih diam," kata Matthew.
Selanjutnya Presiden Jokowi dan Sandiaga Murka >>>
Presiden Joko Widodo kemudian buka suara soal kasus karantina yang kembali terjadi. Dia memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit mengusut praktik permainan dalam pelaksanaan karantina pelaku perjalanan luar negeri (PPLN).
"Saya masih mendengar dan ini saya minta Kapolri untuk mengusut tuntas permainan yang ada di karantina. Sudah, karena saya sudah mendengar dari beberapa orang asing komplain ke saya mengenai ini," ujar Jokowi dikutip dari laman Setkab.
Presiden Jokowi meminta agar proses karantina dilakukan dengan benar serta disiplin dalam melakukan pengetatan di pintu masuk internasional.
Sandiaga Uno pun berharap tidak lagi terjadi kasus wisatawan yang mendapat pengalaman tidak mengenakkan. Sandiaga menyatakan akan menindak tegas oknum-oknum yang bermain dalam kekarantinaan.
"Saya tidak akan segan untuk menindak tegas oknum-oknum yang mencoba mengambil keuntungan namun mencoreng nama baik Indonesia!" tulis Sandiaga di Instagramnya.
Sandiaga Uno mukra soal mafia karantina di Indonesia
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, menyatakan setuju jika mereka disebut mafia karantina. Sebab, kasus-kasus tersebut terus berulang terjadi.
"Mafia itu memanfaatkan posisi rentan mereka yang datang dari luar negeri, bagaimana meraup keuntungan dari posisi rentan korban. Itu yang terjadi dalam pelanggaran karantina," kata Anis seperti dikutip dari BBC Indonesia.
Menurut Anies, kasus mafia karantina itu terjadi lantaran sistem yang dibuat justru menimbulkan dan memberi ruang bagi para oknum untuk beraksi.
"Jadi pengawasan, SOP, koordinasi, tidak jalan, sehingga yang datang ke Indonesia asal didata saja, di-checklist berapa masuk, tanpa cek fisik. Ketika ada penipuan, tidak terekam sehingga membuka ruang manipulasi dan kecurangan," katanya.
Anis pun meminta pemerintah segera mengevaluasi sistem, kebijakan, dan petugas karantina.
"Lalu melakukan audit dengan mengumpulkan keterangan korban untuk melihat dimana titik bocornya. Jangan-jangan bocor di semua titik sehingga potensi kecurangan terus berlangsung," katanya.
Selanjutnya tanggapan PHRI >>>
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia bereaksi. Mereka menegaskan hanya menjalankan ketentuan dari pemerintah.
Menurut Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani, mengeluh jika pihak hotel selalu disalahkan jika ada permasalahan yang muncul.
Terkait kasus WNA Ukraina yang meminta melakukan tes PCR di laboratorium yang dia minta, menurut Hariyadi hal tersebut tak dapat dilakukan.
"Dalam aturan tidak bisa, lab harus ditunjuk Kemenkes, dan pihak hotel telah menjelaskan konsekuensinya," kata Hariyadi dalam acara Weekly Press Briefing Kemenparekraf 2022 di situs Youtube.
"Kemudian, kenapa karantina 10 hari? Biaya jadi bengkak. Lalu, makanan, kenapa harus di hotel? Lah, persyaratan Satgas seperti itu, tidak boleh ambil dari luar, termasuk online… Lalu jemaah Umroh mengeluh tabungan habis karena menginap di hotel. Bukan posisi hotel mau menyusahkan masyarakat, tapi memang regulasi seperti itu."
"Akhirnya yang kena getah hotel melulu karena dianggap hotel punya tendensi kurang baik, dituduh kita mafia karantina, dan lainnya… Posisi PHRI sangat terbuka, jika ada kesalahan akan kami tindak tegas," katanya.
Menurut Hariyadi, proses karantina melibatkan sejumlah pihak. Mulai dari bandara, hotel, hingga tim pemeriksaan kesehatan oleh pihak Satgas Covid-19.
"Proses ini berpengaruh pada berbagai kemungkinan ada pihak-pihak yang mungkin punya itikad tidak baik," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News