Presiden ke-2 RI, Soeharto kembali diusulkan untuk ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Usulan ini pun menuai kontroversi.
Pemberian gelar pahlawan nasional ke Soeharto tengah digodok Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), pakar, serta budayawan. Selain Soeharto, ada sembilan nama lainnya yang diusulkan jadi pahlawan nasional.
Sejarawan UGM, Dr Agus Suwignyo, merespons rencana dari Pemerintah. Menurutnya, Soeharto memang memenuhi kriteria dan persyaratan untuk dijadikan sebagai pahlawan nasional. Namun begitu, ada fakta sejarah yang tidak dapat diabaikan.
“Kalau melihat kriteria dan persyaratan sebagai pahlawan nasional, nama Soeharto memang memenuhi kriteria tersebut. Namun tidak bisa juga mengabaikan fakta sejarah dan kontroversinya di tahun 1965,” ujar Agus dikutip dari laman UGM, Minggu, 20 April 2025.
Baca juga
Nama Soeharto Tak Disebut Dalam Keppres Serangan Umum 1 Maret yang Diteken Jokowi
Agus menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional, seseorang yang diajukan untuk mendapat gelar tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan umum dan khusus. Beberapa di antaranya adalah berkontribusi secara nyata sebagai pemimpin atau pejuang, serta tidak pernah mengkhianati bangsa.
Agus mencontohkan sejumlah peran yang pernah dilakukan Soeharto. Pertama adalah keterlibatan Soeharto dalam dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil merebut Kota Yogyakarta dari cengkraman kolonial. Kemudian pada tahun 1962, Soeharto naik menjadi Panglima Komando Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat.
“Cara pandang sejarah terhadap Soeharto ini tidak bisa hitam putih. Sebagai pahlawan nasional, tidak bisa mengabaikan fakta sejarah. Tapi tidak bisa juga mengabaikan kontribusinya dalam kemerdekaan,” jelasnya.
Agus pun mengusulkan adanya pengkhususan dan kategorisasi jika tetap memberikan gelar pahlawan nasional pada Soeharto.
Baca juga
Artis Cucu Pahlawan: Dari Ashanty, Dian Sastro Hingga Maia Estianti
“Penulisan sejarah itu harus memperhatikan konteks, ya. Jadi semisal ada kategori pahlawan nasional dalam bidang tertentu, sehingga bisa diberikan gelar namun dalam konteks dan catatan,” jelasnya.
Menurut Agus, seorang tokoh mungkin memiliki catatan kelam semasa hidupnya. Catatan itu pun berdampak hingga saat ini.
Jika penetapan gelar pahlawan diberikan konteks dalam bidang atau periode tertentu, pengakuan terhadap kontribusi dapat dilakukan tanpa mengabaikan fakta sejarah lainnya.
Bagi Agus, penulisan dan pengakuan sejarah perlu memperhatikan sudut pandang dan konteks. Hal ini yang akan mempengaruhi penilaian publik di masa kini dan masa depan terhadap sejarah nasional.
Menurut Agus, kasus ini pun tak hanya terjadi pada Soeharto. Dia mencontohkan nama Syafruddin Prawiranegara.
Menurutnya, Syafruddin Prawiranegara memiliki peran dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958. Hal ini membuatnya dicap sebagai pengkhianat. Padahal Syafruddin merupakan tokoh penting ketika pemerintah darurat dibentuk.
“Selain itu, kita belum (memberikan pengakuan) pada berbagai tokoh-tokoh di bidang seni, teknologi, dan pengetahuan. Saya kira perlu ada kajian mengenai pahlawan nasional di luar latar belakang militer,” jelasnya.
Artikel lainnya: KPK Akhirnya Angkut Motor Royal Enfield dari Rumah Ridwan Kamil
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News