Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati, heran dengan sikap PDI Perjuangan yang menolak kenaikan PPN 12 persen. Keponakan Presiden Prabowo Subianto itu menilai PDIP justru sebagai inisiator dari kenaikan PPN tersebut.
Sara menjelaskan, PDIP terlibat dalam panja penyusunan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Aturan itulah yang kini menjadi landasan kenaikan PPN menjadi 12 persen.
"Itulah kenapa saya heran saat ada kader PDIP berbicara di rapat paripurna, tiba-tiba menyampaikan pendapatnya tentang PPN 12 persen," kata Sara kepada wartawan, Minggu, 22 Desember 2024.
Menurut Sara, sejumlah anggota DPR lainnya juga heran dengan sikap PDIP tersebut. Sebab kenapa baru saat ini PDIP menolak PPN 12 persen.
Baca juga
Airlangga Pastikan Transaksi QRIS Tak Dikenai PPN 12 Persen
"Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa. Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya," ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR RI itu.
"Padahal mereka saat itu ketua panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12 persen ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka ketua panjanya?" ujarnya heran.
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Anggaran sekaligus anggota Fraksi Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto, merinci peran PDIP dalam merumuskan kebijakan kenaikan PPN 12 persen.
"Kenaikan PPN 12 persen, itu adalah merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan," kata Wihadi dalam keterangan tertulis.
"Jadi kita bisa melihat dari yang memimpin panja pun dari PDIP, kemudian kalau sekarang pihak PDIP sekarang meminta ditunda ini adalah merupakan sesuatu hal yang menyudutkan pemerintah Presiden Prabowo" kata Wihadi.
Respons PDI Perjuangan
Merespons pernyataan Gerindra, PDIP menyatakan, inisiasi penyusunan UU JPP yang menjadi dasar kenaikan PPN 12 persen itu adalah inisiatif dari pemerintah Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
"UU HPP merupakan UU inisiatif Pemerintahan Jokowi, yang disampaikan ke DPR tanggal 5 Mei 2021. Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie Othniel Frederic Palit kepada wartawan.
"Seluruh fraksi setuju untuk melakukan pembahasan atas usul inisiatif pemerintah atas RUU HPP; Selanjutnya RUU HPP dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR RI (Komisi XI)," jelasnya.
"Disahkan dalam Paripurna tanggal 7 Oktober 2021; 8 Fraksi (Fraksi PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, NasDem, Fraksi PKB, F Partai Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi PPP) menyetujui UU HPP kecuali fraksi PKS," kata Dolfie.
"UU HPP, bentuknya adalah Omnibus Law, mengubah beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, dan UU Cukai. UU ini juga mengatur Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon," tambahnya.
"Sebagaimana amanat UU HPP, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12% (sebelumnya adalah 11%). Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5% sampai dengan 15% (bisa menurunkan maupun menaikkan); Sesuai UU HPP, Pasal 7 ayat (3), Pemerintah dapat mengubah tarif PPN di dalam UU HPP dengan Persetujuan DPR," katanya.
Dolfie pun menjelaskan, pertimbangan untuk menaikkan atau menurunkan tarif PPN itu tergantung dari kondisi perekonomian nasional. Jika pemerintah Presiden Prabowo tetap menaikkan PPN sebesar 12 persen, maka harus diiringi penciptaan lapangan pekerjaan yang luas bagi masyarakat.
"Apabila Pemerintahan Presiden Prabowo tetap menggunakan tarif PPN 12 persen, maka hal-hal yang harus menjadi perhatian adalah; kinerja ekonomi nasional yang semakin membaik, pertumbuhan ekonomi berkualitas, penciptaan lapangan kerja, penghasilan masyarakat meningkat, pelayanan publik yang semakin baik," tambahnya.
Artikel lainnya: Viral Wisatawan Digetok Tarif Jalur Alternatif Rp850.000 di Puncak Bogor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News