Apa itu Baha'i?
Dikutip dari artikel ilmiah yang ditulis Sofyan Chalid bin Idham Ruray, agama ini pertama kali muncul dan berkembang di Iran pada 1844.
Baha'i berasal dari Mirza Ali Muhammad Asy-Syirozi yang mengaku sebagai nabi. Ajarannya itu kemudian dilanjutkan oleh Mirza Husain Ali bin Mirza Abbas An-Nuri Al-Mazindaroni yang bergelar Al-Baha’, ia lahir pada tahun 1233 H / 1817 M, belajar di Teheran, Iran, bergaul dengan orang-orang Sufi, kemudian bertemu dengan orang-orang Al-Baabiyah sampai akhirnya ia mencetuskan agama Al-Bahaa’iyyah sebagai pelanjut Al-Baabiyyah.
Al-Baha’ wafat tahun 1309 H / 1892 M dan dikuburkan di kota ‘Akkaa, Palestina, setelah mewasiatkan kepada anaknya yang bernama Abdul Baha’ untuk melanjutkan agamanya. [Lihat Khafaaya Al-Bahaaiyyah, hal. 33, Al-Baabiyun wal Bahaaiyun, hal. 53, 58, 59, Ushul wa Tarikh Al-Firoq Al-Islamiyah, 2/74-84]
Agama ini kemudian terus menyebar ke berbagai negara, dari India hingga Singapura. Salah satu penyebarnya adalah Jamal Effendi.
Agama ini masuk ke Indonesia pada abad ke-18 ketika rombongan Jamal berkunjung ke Surabaya dan singgah ke Bali. Pemberhentian mereka selanjutnya adalah Makassar di Pulau Sulawesi. Menggunakan sebuah kapal kecil, mereka berlayar ke Pelabuhan Parepare. Mereka disambut oleh Raja Fatta Arongmatua Aron Rafan dan anak perempuannya, Fatta Sima Tana.
Fatta Sima Tana, belakangan, menyiapkan surat-surat adopsi untuk dua orang anak asli Bugis, bernama Nair dan Bashir, untuk membantu dan mengabdi di rumah di Akka. Sang raja juga sangat tertarik dengan agama baru ini. Lalu mereka melanjutkan perjalanan ke Sedendring, Padalia, dan Fammana.
Menggunakan sampan, mereka melanjutkan perjalanan sepanjang sungai sampai mereka tiba dengan selamat di Bone. Di sini, Raja Bone, seorang lelaki muda dan terpelajar, meminta mereka menyiapkan suatu buku panduan untuk administrasi kerajaan dan Sayyid Mustafa Rumi melaporkan bahwa mereka telah menulisnya sejalan dengan ajaran-ajaran Baha'i. Agama ini pun terus mendapatkan pengikutnya di Indonesia.
Agama Baha'i bukan Percabangan Agama Lain
Seperti dikutip dari laman Kemenag, penegasan eksistensi agama Baha'i sebagai sebuah agama independen ini tertuang dalam Seminar Hasil Penelitian yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada 22 September 2014. Agama Baha'i ini diketahui merupakan agama baru yang bukan percabangan agama lain.
Konsep ajaran agama Baha'i memiliki ciri khas yang berbeda dengan konsep keagamaan di dalam Islam. Begitu pula dalam tata cara peribadatan. Meskipun tampaknya memiliki kesamaan dengan peribadatan Islam (seperti sembahyang, puasa, ziarah, dan lainnya), pada praktiknya tata cara peribadatan yang mereka lakukan sama sekali berbeda.
Para penganut Baha'i mengerjakan sembahyang sebanyak tiga kali dalam sehari. Kiblat yang dijadikan sebagai arah sembahyang pun berbeda dengan umat Islam. Umat Islam menghadap ke arah Ka'bah, sedangkan umat Baha'i bersembahyang menghadap barat laut (Kota Akka-Haifa). Hari raya umat Baha'i juga berbeda dengan Islam.
Kendati demikian, sejarah lahirnya ajaran Baha'i tidak dapat dipisahkan dari agama Islam. Pendiri ajaran Baha'i, yaitu Baha'ullah, merupakan penganut agama Islam sebelum ia menisbatkan diri sebagai utusan Tuhan.
Dilarang Soekarno Diizinkan Gus Duran
Di Indonesia, Baha'i sempat masuk dalam daftar organisasi dilarang di era Presiden Soekarno melalui Keppres No 264/1962.
Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kemudian mencabut aturan itu mengganti dengan Keppres No 69/2000.
Gus Dur mengakui secara konstitusi keberadaan Baha'i serta mempersilakan menjalankan aktivitas keagamaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News