Kisah perpolitikan pada zaman pemerintahan sahabat Rasulullah Sayyidina Umar bin Khattab selalu menjadi percontohan. Salah satu yang dicontohkan adalah penolakan Umar untuk melibatkan keluarga dalam pemerintahan.
Kisah ini terdaat dalam kitab-kitab sejarah, seperti Al-Kamil fit Tarikh karya Ibnul Atsir II/459, Tarikhut Thabari karya At-Thabari II/580 dan selainnya. (Ibnul Atsir, Al-Kamil fit Tarikh, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1987], juz II, halaman 459).
Penolakan Sayyidina Umar ini bermula usai tragedi penusukan terhadap dirinya. Dia pun didesak agar segera menunjuk penggantinya.
“Andaikan Abu Ubaidah masih hidup, niscaya aku akan menunjukknya sebagai penggantiku. Akan Ku katakan kepada Tuhanku bila Ia menanyaiku (karena menunjuk Abu Ubaidah): “Aku telah mendengar Nabi-Mu bersabda: “Abu Ubaidah adalah aminu hadzihil ummah (kepercayaan umat Islam ini),” jawab Umar mengutip laman NU Online.
Yang dimaksud Umar tersebut adalah tokoh senior sahabat yakni Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Dia bahkan mendapat gelar langsung dari Nabi Muhammad sebagai aminul ummah atau orang kepercayaan umat Islam.
Namun Abu Ubaidah wafat saat terjadi endemi thaun ‘Ammas di Syam pada tahun 18 H/638 M.
“Andaikan Salim mantan budak Abu Hudzaifah hidup niscaya akan aku jadikan dia sebagai penggantiku. Aku akan katakan kepada Tuhanku jika ia menanyaiku: “Sungguh Salim adalah orang yang sangat mencintai karena Allah Ta’ala.”
Maksud Sayyidina Umar adalah Salim, sorang peranakan Persi yang berlatar belakang budak yang telah dimerdekakan oleh Tsabitah istri dari sahabat Abu Hudzaifah bin Utbah. Usai dimerdekakan, Salim kemudian diadopsi sebagai anak angkat oleh Abu Hudzaifah dan Tsabitah.
Salim dikenal sebagai sosok yang ahli Al-Qur'an. Dia juga tidak pernah absen dalam peperangan (ghazawat) bersama Nabi Muhammad SAW. Salim tewas pada saat perang Yamamah pada tahun 11 H/632 H di masa pemerintahan Abu Bakar. Dalam perang tersebut, Salim dipercaya membawa bendera kaum Muhajirin dan mempertahankannya hingga meninggal dunia.
Mendengar pernyataan tersebut, kolega Umar pun kemudian mengusulkan agar penerusnya diberikan kepada Abdullah, putra dari Sayyidina Umar. “Aku tunjukkan kepadamu, (bagaimana kalau) Abdullah bin Umar”, usulnya.
Namun respons Sayyidina Umar di luar dugaan. Dia marah dan berkata, “Semoga Allah membunuhmu. Demi Allah, Aku tidak menghendaki hal ini! Celaka kamu! Bagaimana mungkin aku menunjuk penggantiku orang yang tak mampu menceraikan istrinya?"
"Kami (sebenarnya) tidak butuh mengurusi urusan kalian (menjadi pemimpin pemerintahan), kemudian aku memujinya dan menyenanginya untuk salah seorang dari keluargaku."
"Jika (menjadi pemimpin) itu baik, maka aku telah melakukannya, dan jika hal itu buruk maka telah disimpangkan dari kami. Cukuplah untuk keluarga Umar yang dihisab (sebagai pejabat pemerintahan) dan diminta pertanggungjawaban dari urusan umat Muhammad, satu orang saja."
"Ingatlah sungguh aku telah berupaya sekuat tenaga (dalam menjalankan pemerintahan), dan aku haramkan keluargaku (untuk meneruskannya). Jika aku selamat dalam kondisi tanpa dosa dan tanpa pahala (dalam menjalankan pemerintahan), sungguh aku telah beruntung."
"Lihatlah, jika aku menunjuk pengganti, maka sungguh telah ada orang (Abu Bakar) yang lebih baik daripada aku yang menunjuk pengganti; dan jika aku tidak menunjuk pengganti, sungguh telah ada orang (Nabi Muhammad saw) yang lebih baik daripada aku yang tidak menunjuk pengganti.”
Bagi Sayyidina Umar, sosok yang layak duduk dalam kepemimpinan adalah orang yang benar-benar memiliki kualitas, kapabilitas, dan prestasi dalam pemerintahan.
Sayyidina Umar juga tidak mau keluarganya terlibat dalam pemerintahan. Sebab, jabatan bukanlah suatu kebanggaan, melainkan suatu hal yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Sumber: NU Online
Artikel lainnya: Resep Sandwich Goreng Isi Ayam Sosis Keju, Rekomendasi Menu Sarapan Akhir Pekan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News