Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Jawa Timur mengharamkan penggunaan karmin sebagai bahan makanan dan minuman. Bahan karmin ini diketahui banyak digunakan para produk yoghurt.
Ketua Lembaga Bahtsul Masail NU Jawa Timur, KH Asyhar Shofwan, mengatakan, karmin adalah bahan pewarna makanan yang berasal dari bangkai serangga. Menurutnya, bangkai serangga termasuk dalam najis.
"Bangkai serangga (karmin) atau hasyarat tidak boleh konsumsi karena najis dan menjijikkan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam Madzhab Maliki," kata Asyhar dalam keterangannya ditulis Sabtu, 30 September 2023.
Asyhar menjelaskan, LBM NU Jatim memutuskan penggunaan bahan karmin dalam makanan atau minuman dilarang. Hal ini didasari pada kitab Al -Bayan Wattahsil, Al -Taj Wa al-Iklil Juz 3 halaman 228.
itu, dalil lain yang digunakan adalah Al-Muntaqo Syarh Muwatto' Juz 3 halaman 110, Al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba'ah Juz 1 halaman 1116, Al-Muntaqo Syarh Muwatto' Juz 3 halaman 129, Al-dakhiroh Juz 4 halaman 125, Fathul mu'in Juz 1 halaman 98, dan 'Ianah al-Tholibin Juz 1 halaman 108.
Keptuusan ini sudah berlaku sejak 29 Agustus 2023.
"Kami merekomendasikan penggunaan karmin dilarang dan haram," kata Asyhar.
"Adapun penggunaan karmin untuk keperluan selain konsumsi semisal untuk lipstik menurut Jumhur Syafi'iyyah tidak diperbolehkan karena dihukumi najis. Sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik, dan Imam Abi hanifah dihukumi suci sehingga diperbolehkan karena serangga tidak mempunyai darah itu yang membuat bangkainya tidak bisa membusuk," tambahnya.
Menurut Asyhar, karmin selama ini digunakan untuk mempercantik penampilan produk makanan atau minuman.
"Salah satu caranya adalah dengan menggunakan pewarna makanan untuk menampilkan warna yang cerah. Selain pewarna sintetis dan alami, ada juga makanan dan minuman yang menggunakan pewarna dari serangga bernama karmin itu," jelasnya.
"Untuk menonjolkan aspek warna yang dinginkan, biasanya ekstrak cochineal ini dicampur dengan larutan alkohol asam untuk lebih memunculkan warna," jelasnya.
"Karmin adalah pewarna merah yang usianya sudah sangat tua, berasal dari suku Aztec di tahun 1500-an. Ketika orang Eropa menemukan budaya mereka selama eksplorasi, mereka menggunakan ekstrak serangga berjenis cochineal atau kutu daun sebagai pewarna untuk kain dengan warna merah cerah," ujarnya.
Artikel lainnya: Suhu Udara di Jabodetabek Panas Hingga 37 Derajat Celcius, BMKG Ungkap Penyebabnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News