Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima bagi umat Muslim. Ibadah haji ke Tanah Suci ini dilakukan setidaknya satu kali seumur hidup bagi mereka yang mampu.
Di Indonesia, seseorang yang selesai menunaikan ibadah haji biasanya langsung diberi gelar haji untuk laki-laki atau hajjah bagi perempuan.
Lantas bagaimana asal usul penyematan gelar haji atau hajjah itu?
Ibadah haji sudah dilakukan orang Indonesia sejak zaman penjajahan. Saat itu masyarakat Indonesia harus menjalani perjalanan yang berat menuju Tanah Suci. Mereka bisa berbulan-bulan berlayar untuk menuju Arab Saudi.
Baca juga
50 WNI Diundang Raja Arab Saudi Ibadah Haji: Imam Besar Istiqlal Hingga Guru
Namun pemberian gelar haji atau hajjah baru terjadi pada awal abad ke-20. Mengutip laman NU Online, arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menjelaskan, penyematan gelar haji ini muncul sejak tahun 1916.
"Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial," kata Agus Sunyoto.
"Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi 'biang kerok' pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan," beber Agus Sunyoto.
Menurutnya, saat itu Belanda sampai heran karena setiap ada warga pribumi pulang dari Tanah Suci Mekkah, selalu terjadi pemberontakan.
Gerakan ini banyak dipelopori sejumlah tokoh seperti KH Ahmad Dahlan seusai pulang ibadah haji yang mendirikan Muhammadiyah. Selain itu, KH Hasyim Asyari yang mendirikan Nahdlatul Ulama, Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam, dan Cokroaminoto mendirikan Sarekat Islam.
Berdirinya organisasi-organisasi Islam ini membuat Belanda khawatir. Sebab, para tokoh yang kembali dari ibadah haji dianggap sebagai orang suci di Jawa.
"Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu," ujarnya.
Selanjutnya >>>
Akhirnya, pada 1916, pemerintah Kolonial mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji, yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar “haji”. "Untuk apa (ordonansi haji, red)? Supaya gampang mengawasi, intelijen, sejak 1916 itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari luar negeri diberi gelar haji," ujar Agus.
Adapun sebutan atau panggilan “Ya Haj” yang ada di Timur Tengah hanya bersifat verbal atau ucapan penghormatan saja, karena pemerintahan di sana tidak mengeluarkan sertifikat haji.
Gelar haji hanya ada di Indonesia
Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, menyatakan, gelar haji hanya khas ada di Indonesia.
"Itu khas Indonesia, tidak ada di negara lain. Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji," ujarnya dikutip dari kompas.com.
"Dulu orang haji tidak seminggu sebulan, bahkan bertahun-tahun, karena di sana sambil ngaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara," tutur Syamsul.
"Maka orang-orang yang sepulang haji ditandai dan diberi gelar Haji oleh pemerintah kolonial, menyatu dengan namanya," jelas Syamsul.
Syamsul menjelaskan, gelar Haji pemberian Belanda ini bukan gelar penghormatan. Melainkan untuk menandakan para tokoh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News