Skemanya adalah WHO mendapatkan vaksin dari perusahaan vaksin, kemudian WHO membagikan vaksin tersebut ke negara-negara yang tergabung dalam Covac tersebut.
"Dengan skema multilateral ini, untuk proses sertifikasi halal agak rumit dan panjang alurnya, karena Pemerintah tidak punya akses lagsung dengan perusahaan vaksin," tulis MUI.
"Sehingga MUI pun tidak dapat mengakses data-data tentang bahan, proses produksi vaksin yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan fatwa atas kehalalan produk vaksin Moderna," lanjutnya.
MUI menjelaskan, dalam menetapkan fatwa produk halal, MUI melihat tiga hal. Yakni, pertama, bahan baik bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong harus halal.
Kedua, proses produksi halal harus dijamin tidak terkontaminasi dengan najis. Ketiga, adanya sistem dalam perusahan yang menjamin kehalalan mulai dari hulu sampai hilir.
Mengenai imuniasasi ini, MUI telah menetapkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2016. Berikut ini isinya:
- Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu
- Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci
- Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram
Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali:
- digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat;
- belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan
- adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal. - Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.
- Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dharar).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News