Bagi masyarakat Jawa, malam 1 Muharram atau 1 Suro menjadi salah satu malam yang diistimewakan. Sebab, di malam itu masyarakat menganggap malam penuh berkah sekaligus keramat.
Dikutip dari laman petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id, bagi masyarakat Jawa, bulan Muharram sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci.
Istilah lainnya adalah bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.
Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral. Seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat.
Baca Juga:
Sejarah Tahun Baru Islam dan Keutamaan Bulan Muharram
Mereka pun melaksanakan sejumlah tradisi yang sudah dilakukan turun temurun sejak nenek moyang mereka. Berikut tradisi 1 Suro yang biasa dilakukan masyarakat:
Jamasan Pusaka
Tradisi jamasan pusaka menjadi salah satu kegiatan yang identik dilakukan pada bulan Suro.
Tradisi tersebut hadir di banyak tempat di pulau Jawa, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan juga Yogyakarta.
Jamasan pusaka dimaksudkan untuk mendapatkan keselamatan, perlindungan, dan ketentraman.
Upacara jamasan pusaka umumnya dilakukan secara bertahap. Pusaka yang dijamasi biasanya berbentuk keris, tombak, dan benda-benda pusaka lainnya.
Adapun, tahapan-tahapan yang dilalui dalam upacara tersebut dimulai dengan pengambilan pusaka dari tempat penyimpanannya, tirakatan (semedi), arak-arakan, dan tahap jamasan atau pemandiam.
Sebagian masyarakat Jawa menyakini benda-benda pusaka tersebut mempunyai kekuataan gaib yang akan mendatangkan berkah apabila dirawat dengan cara dibersihkan atau dimandikan.
Selanjutnya Sedekah Laut >>>
Sedekah laut
Tradisi sedekah laut juga biasa dilakukan saat bulan Suro. Biasanya dilakukan warga di sekitar pantai Baron dan Kukup, Kecamatan Tanjungsari, Gunungkidul, Yogyakarta.
Sedekah Laut di pantai Baron dimulai dengan kenduri yang diikuti warga yang mencari rezeki di sekitar pantai.
Masyarakat kemudian membawa makanan, gunungan yang berisi hasil bumi, ayam hitam, dan kepala kambing untuk dilarung di laut.
Baca Juga:
Tangisan Abu Bakar dan Umar Saat Alquran Dilantunkan
Kirab Suro
Tradisi ini biasa digelar Keraton Kasunanan Surakarta. Pada saat kirab, kerbau bule dan benda pusaka milik Keraton dikeluarkan.
Prosesi kirab biasa dimulai menjelang tengah malam, diawali dari Keraton kemudian arak-arakan melintasi jalan protokol Kota Solo dan kembali ke Keraton Solo.
Ratusan orang yang berkumpul khusuk saat menunggu kerbau milik keraton melintas. Setelah itu, mereka berebut sesaji. Bagi sebagian warga, sesaji pada malam satu Suro dipercaya bisa memberikan keselamatan dan berkah.
Baca Juga:
Apakah Bermain dan Dengarkan Musik Haram? Ini Pandangan Dalam Islam
Tapa Bisu
Tapa bisu adalah tradisi yang dilakukan oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta yang digelar setiap malam 1 Suro, sesuai penanggalan kalender Jawa.
Tapa bisu dilakukan dengan berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta di malam 1 Suro tanpa berbicara.
Tradisi mubeng beteng (keliling benteng) tanpa berbicara ini diprakarsai oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam pertama yang juga mencetuskan sistem penanggalan Jawa.
Dulunya, ritual ini dilakukan oleh para prajurit Keraton. Tidak sekadar tradisi, tapi kegiatan tersebut juga dalam rangka mengamankan lingkungan Keraton karena saat itu belum ada benteng yang mengitari lingkungan Keraton.
Sebagai tradisi, mubeng beteng tidak mengalami perubahan sejak pertama kali dilakukan. Ritual tersebut memutar dimulai dari sisi kiri atau barat Keraton, arah ini sesuai falsafah Jawa.
Kiri dalam bahasa Jawa berarti kiwo, yang berarti tujuan mubeng beteng adalah ngiwake atau membuang hal-hal buruk.
Demikian tradisi masyarakat dalam memperingati 1 Muharram atau 1 Suro.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News