Sejarah Angklung dan Mitos Penghormatan Kepada Nyai Sari Pohaci
- Arry
- 16 November 2022 11:43
Angklung merupakan alat musik tradisional Indonesia yang berasal dari Jawa Barat. Setiap 16 November, dunia memeringati sebagai Hari Angklung Sedunia dan Google merayakannya dalam Doodle yang muncul di laman pencarian.
Sejak 2010, angklung telah terdaftar sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia asal Indonesia dari UNESCO.
Angklung memiliki beberapa jenis, antara lain : Angklung Kanekes, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Gubrag, dan Angklung Padaeng.
Melansir laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Angklung berasal dari bahasa Sunda angkleung-angkleungan yaitu gerakan pemain angklung dan membentuk suara klung yang dihasilkannya.
Namun, secara etimologis angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi, angklung merujuk pada nada yang pecah atau tidak lengkap.
Bentuk angklung terdiri dari dua atau lebih batang bambu dalam berbagai ukuran sesuai dengan kebutuhan tinggi rendahnya nada yang dibentuk menyerupai alat musik calung.
Belum diketahui kapan Angklung mulai ada di Indonesia. Namun, menurut Dr Groneman, Angklung telah ada di Nusantara, sebelum era Hindu. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, Angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan. Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.
Pada abad ke-12 hingga 16, Kerajaan Sunda biasanya memainkan angklung sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci. Masyarakat percaya, angklug dpat digunakan pada proses menanam padi.
Dengan mengikat Nyai Sari Pohaci, maka dapat menumbuhkan dan menghasilkan padi. Selain itu, angklung juga bisa menjadi alat pengusir hama dalam tumbuhan.
Selain itu, masyarakat Sunda juga sering menggunakan Angklung sebagai pemacu semangat dalam peperangan, sebagaimana yang diceritakan dalam Kidung Sunda.
Anglung kini terus berkembang di Jawa Barat. Ada dua tokoh yang berperan dalam perkembangan Angklung, yakni Daeng Soetigna sebagai Bapak Angklung Diatonis Kromatis dan Udjo Ngalagena yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog dan salendro.
Daeng Soetigna dikenal telah menciptakan angklung dengan nada diatonis. Pada 1938, Daeng Soetigna menciptakan angklung yang bisa dimainkan secara harmonis bersama alat-alat musik dan disajikan dalam bentuk orkestra.
Perkambangan Angklung kemudian dilanjutkan murid Daeng Soetigna, Udjo Ngalagena. Dia bahkan mendirikan “Saung Angklung” di daerah Bandung. Hingga hari ini, tempat yang kemudian dikenal sebagai “Saung Angklung Udjo” tersebut masih menjadi pusat kreativitas yang berkenaan dengan Angklung.