Kasus Korupsi BBM, Pertamina Buka Suara Soal Tudingan Pertalite Dioplos Jadi Pertamax

  • Arry
  • 25 Februari 2025 21:46
BBM Pertamina jenis Pertamax, Pertalite(astra daihatsu/astra-daihatsu.id)

PT Pertamina buka suara soal kasus korupsi tata kelola minyak yang ditangani Kejaksaan Agung. Sebanyak empat petinggi Pertamina menjadi tersangka dalam kasus yang diduga merugikan negara Rp193,7 triliun itu.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan narasi BBM Pertalite dioplos menjadi Pertamax dalam kasus ini tidak sesuai dengan pernyataan Kejagung alias misinformasi. Sebab, titik permasalahannya adalah keputusan impor minyak mentah.

"Ini kan muncul narasi oplosan itu kan juga gak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Kejaksaan sebetulnya. Jadi di Kejaksaan mungkin kalau boleh saya ulang, lebih mempermasalahkan tentang pembelian RON 90 dan RON 92, bukan adanya oplosan," kata Fadjar, Selasa, 25 Februari 2025.

Fadjar memastikan, seluruh produk BBM milik Pertamina yang dipasarkan ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Termasuk untuk BBM jenis Pertalite dan Pertamax.

Baca juga
Oplos Pertalite Jadi Pertamax, Bos Pertamina Patra Jadi Tersangka Korupsi Rp193 T

"Kami pastikan bahwa yang dijual ke masyarakat itu adalah sesuai dengan spek yang sudah ditentukan oleh Dirjen Migas. Itu artinya ya RON 92 Pertamax, RON 90 itu artinya Pertalite," jelas Fadjar.

Fadjar menjelaskan, selama ini kilang milik Pertamina belum seluruhnya fleksibel mengolah berbagai jenis minyak mentah (crude). Dengan demikian, minyak mentah produksi dalam negeri yang tidak sesuai spesifikasi kilang, harus diekspor.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan energi nasional, lanjut Fadjar, Pertamina harus mengimpor minyak mentah dari luar negeri.

"Kilang kita ini kan belum semuanya ter-upgrade istilahnya. Jadi tidak se-flexible bisa mengolah berbagai jenis semacam crude. Jadi dari segi produksi juga produksi BBM atau produksi minyak mentah kita juga masih defisit dibandingkan dengan konsumsi sehingga masih diperlukan impor," jelasnya.

"Dari segi produksi kita memang masih kurang. Sedangkan konsumsi melebihi apa yang diproduksi oleh Pertamina juga KKKS yang lain. Oleh sebab itu diperlukan impor," imbuhnya.

Baca juga
Kejagung Geledah Rumah Bos Minyak Riza Chalid dan Anaknya

"Untuk lain-lain kita masih menunggu dari Kejaksaan, kita hormati proses hukum yang ada di Kejaksaan, kita tunggu bersama," ujarnya.

Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak

Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka korupsi tata kelola minyak dan produk kilang pada PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), pada 2018-2023.

Mereka adalah 4 petinggi anak perusahaan Pertaminya yakni RS, SDS dan YF dan AP. Tiga tersangka lainnya yakni; MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Merak.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, menjelaskan, perkara ini dimulai pada periode 2018-2023. Saat itu pemerintah mencanangkan agar pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri.

Pertamina pun diwajibkan mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor. Hal ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permen ESDM Nomor 42 Tahun 2018.

Baca juga
Belasan Mobil Mesinnya Rusak Usai Isi Pertamax di Cibinong, Ini Kata Pertamina

Namun, tersangka RS, SDS, dan AP diduga telah mengakali aturan tersebut dengan melakukan pengkondisian dalam rapat organisasi hilir (ROH). Rapat memutuskan untuk menurunkan produksi kilang. Sehingga produksi minyak dalam negeri dianggap tidak cukup.

Di saat bersamaan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS juga dengan sengaja ditolak. Alasannya, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harganya masih sesuai harga perkiraan sendiri (HPS).

Tak hanya itu, produksi minyak mentah dari KKKS juga dinilai tidak sesuai spesifikasi. Faktanya, minyak yang diproduksi masih dapat diolah sesuai dengan spesifikasi.

”Selanjutnya kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakatan jahat atau mens rea antara tersangka penyelenggara negara dan tersangka broker,” jelasnya.

Dalam praktiknya, tersangka RS, SDS, dan AP juga memenangkan broker dengan melawan hukum. Sementara, tersangka DW dan DRJ berkomunikasi dengan AP untuk memperoleh harga tinggi saat syarat belum disetujui oleh SDS ketika mengimpor minyak mentah dan dari RS untuk produk kilang.

RS diduga melakukan pembelian untuk RON 92, namun nyatanya yang dibeli adalah RON 90 yang diolah kembali.

Akibatnya, negara harus membayar fee sebesar 13-15 persen yang menguntungkan tersangka MKAR. Perbuatan ini diduga menyebabkan negara mengalami kerugian sekitar Rp 193,7 triliun. 

Artikel lainnya: PSSI Tunjuk Eks Pemain Barcelona dan MU, Jordi Cruyff Sebagai Penasihat Teknis

 

Related Articles

Berita Terpopuler

Berita Pilihan