Tak Mau Punya Anak Usai Menikah, Bagaimana Pandangan Hukum Islam?
- Arry
- 18 Agustus 2021 05:36
Saat ini tengah trending di media sosial maupun platform lainnya soal childfree alias menikah tanpa ingin memiliki keturunan. Padahal pasangan suami istri tersebut tidak memiliki gangguan alat reproduksi.
Istilah childfree ini sudah berkembang di dunia barat. Namun, di Indonesia, prinsip ini cenderung aneh dan banyak menuai kontroversi.
Ada banyak alasan yang melatarbelakangi komunitas yang mengaku diri sebagai Childfree Commonity, di antaranya adalah kekhawatiran genetik, faktor finansial, mental yang tidak siap menjadi seorang ibu, bahkan alasan lingkungan.
Lalu, bagaimana prinsip childfree ini dalam hukum Islam?
Dilansir dari NU Online, ajaran agama Islam menganjurkan penganutnya untuk melangsungkan pernikahan, di mana tujuan pernikahan tersebut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia, namun juga karena beberapa hikmah lainnya, Imam as-Sarkhasi (wafat 483 H) menjelaskan dalam kitabnya al-Mabsûth:
“Akad nikah ini berkaitan dengan berbagai kemaslahatan, baik kemaslahatan agama atau kemaslahatan dunia. Di antaranya melindungi dan mengurusi para wanita, menjaga diri dari zina, di antaranya pula memperbanyak populasi hamba Allah dan umat Nabi Muhammad saw, serta memastikan kebanggaan rasul atas umatnya.” (Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-Sarakhsi, al-Masbshût, juz IV [Beirut, Dârul Fikr, 1421 H/2000 M], halaman 349-350).
Dapat dipahami, tujuan pernikahan adalah kemaslahatan dan kebaikan bagi kedua pasangan, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Hasan Sayyid Hamid Khitab dalam kitabnya, Maqâsidun Nikâh yang mengutip pendapat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya I’lâmul Muwaqqi’in menjelaskan tujuan pernikahan:
“Begitu pula dalam pernikahan, tujuannya adalah menjaga keberlangsungan jenis manusia, dan melahirkan keturunan yang saleh. Alasan ini secara hakikat juga menjadi alasan disyariatkannya pernikahan. Karenanya tidak mungkin terbayang adanya anak saleh tanpa pernikahan, sehingga menikah adalah sebab yang menjadi perantaranya. Anak saleh merupakan maksud syariat dan orang berakal. Jika tidak ada pernikahan, maka tidak akan ada anak saleh.” (Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan Muqâranatan, (Madinah: 2009) halaman 9).
Pentingnya memiliki keturunan dalam pernikahan pun telah tergambar dari sabda Nabi saw tentang anjuran menikah dengan wanita yang subur dan sabda Nabi saw tentang anak saleh adalah investasi yang tidak terputus meski orang tuanya meninggal. Imam al-Ghazali memaparkan:
“Upaya untuk memiliki keturunan (menikah) menjadi sebuah ibadah dari empat sisi. Keempat sisi tersebut menjadi alasan pokok dianjurkannya menikah ketika seseorang aman dari gangguan syahwat sehingga tida ada seseorang yang senang bertemu dengan Allah dalam keadaan jomblo atau tidak menikah. Pertama, mencari ridha Allah dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi saw dengan memperbanyak populasi manusia yang dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafaat sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddin, (Jeddah, al-Haramain:), juz II, halaman 25).
Adapun menikah tanpa ingin memiliki keturunan atau childfree dengan alasan kekhawatiran dalam kemampuan finansial, alasan ini tidak cukup kuat untuk menjadi alasan enggan memiliki keturunan. Bakan alasan tersebut jika dicermati menggambarkan ketidakyakinan seseorang terhadap kebaikan Tuhannya.
Syekh Uwais Wafa bin Muhammad Al-Arzanjani menyebutkan dalam ilustrasinya tentang hubungan manusia dengan pekerjaan:
“Di antara (penyebab kurangnya harta) adalah adanya prasangka buruk makhluk terhadap Tuhannya, bahwa Tuhan tidak akan memberi mereka rezeki kecuali dari makhluk.” (Uwais Wafa Muhammad bin Ahmad bin Khalil bin Dawud al-Arzanjani, Minhâjul Yaqîn ‘alâ Syarhi Adâbid Dunyâ wad Dîn, [Jeddah, al-Haramain: 1910], halaman 382).
Demikian beberapa pandangan soal memiliki anak dalam hubungan suami istri.
Wallâhu a’lam.
Baca Juga: