Tuak, Beer Hingga Wine Kini Bersertifikat Halal, Ini Respons MUI

  • Arry
  • 2 Oktober 2024 06:00
Majelis Ulama Indonesia(mui/mui.or.id)

Beredar video yang menampilkan adanya produk minuman dengan nama tuyul, tuak, beer, serta wine yang mendapat stempel sertifikat halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH. Majelis Ulama Indonesia buka suara.

Merespons temuan itu, MUI langsung menggelar pertemuan untuk konfirmasi, klarifikasi, dan pengecekan di Kantor MUI pada Senin, 30 September 2024. Pertemuan itu dipimpin Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh.

Dari hasil investigasi MUI, diketahui informasi yang beredar di video adalah valid. Produk-produk tersebut diketahui memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur Self Declare, tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.

“Penetapan Halal tersebut menyalahi standar fatwa MUI, juga tidak melalui Komisi Fatwa MUI. Karena itu MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut," demikian ujar Prof Niam dikutip dari laman MUI Digital, Rabu, 2 Oktober 2024.

Baca juga
Heboh Wine Nabidz Halal, Kemenag Tak Pernah Keluarkan Sertifikat Halal

“Saya akan segera komunikasi dengan teman-teman Kemenag, khususnya BPJPH untuk mendiskusikan masalah ini," ujarnya.

Dalam rapat tersebut diperoleh informasi bahwa kejadian itu valid, bukti-buktinya jelas terpampang dalam website BPJPH, dan diarsipkan oleh pelapor. Namun, belakangan nama-nama produk tersebut tidak muncul lagi di aplikasi BPJPH.

“Sementara penerbitan Sertifikat Halal terhadap produk-produk tersebut, tidak melalui MUI dan menyalahi fatwa MUI tentang standar halal,” ujarnya.

Guru Besar Ilmu Fikih ini menjelaskan, sesuai dengan ketentuan dalam sertifikasi halal, penetapan kehalalan produk harus mengacu pada standar halal yang ditetapkan oleh MUI.

Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan. Di antaranya tidak boleh menggunakan nama dan atau simbol makanan dan atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.

"Sesuai dengan pedoman dan standar halal, MUI tidak bisa menetapkan kehalalan produk dengan nama yang terasosasi dengan produk haram, termasuk dalam hal rasa, aroma, hingga kemasan. Apalagi produk dengan nama yang dikenal secara umum sebagai jenis minuman yang dapat memabukkan," jelasnya.

Selain itu, dalam ketentuan Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang penggunaan nama, bentuk dan kemasan produk yang tidak dapat disertifikasi halal, produk halal tidak boleh menggunakan nama dan atau simbol makanan dan atau minuman yang mengarah kepada nama benda atau binatang yang diharamkan, termasuk babi dan khamr atau alkohol. Kecuali, produk tersebut termasuk dalam produk tradisi ('urf) dan sudah dipastikan tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti bakso, bakmi, bakpia, bakpao.

Baca juga
Produk Nabidz yang Diklaim Wine Halal, MUI Nyatakan Haram

Atas dasar itu, Asrorun mengimbau agar semua pihak yang berperan dalam penetapan kehalalan produk melalui mekanisme self declare harus berhati-hati dan lebih teliti, serta memperhatikan titik-titik kritis dalam proses penetapan halal.

Niam juga menegaskan akan segera berkoordinasi dengan BPJPH agar kasus-kasus serupa tidak terulang.

“MUI akan koordinasi dan konsolidasi dengan BPJPH untuk mencegah kasus serupa terulang. Jangan sampai merusak kepercayaan publik yang bisa berdampak buruk bagi upaya penjaminan produk halal," ujarnya.

"Masyarakat harus diyakinkan dengan kerja serius kita. Kalau masyarakat sudah tidak percaya, bisa hancur. Jangan sampai hanya mengejar target kuantitatif jadinya yang keluar adalah halal-halal an,” tegas Niam yang juga Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah ini.

Sementara itu, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda menjelaskan sertifikasi halal melalui self declare mengandung kerawanan, karena itu harus hati-hati sekali.

"Pihak-pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal, lebih khusus melalui self declare harus berhati-hati dan ekstra teliti, serta mematuhi stadar halal yang berlaku," kata Miftahul.

Baca juga
Sertifikat Halal Roti Okko Dicabut!

"Harus benar-benar memastikan bahwa produk tersebut merupakan produk yang sudah jelas kehalalannya dan proses produksi sederhana. Juga harus memperhatikan titik-titik kritis dalam proses halal," ujarnya.

Secara lengkap, Fatwa MUI No.44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal, yang ditandatangani Hasanudin Abdul Fattah dan Asrorun Niam Sholeh sebagai Ketua dan Sekretaris Komisi Fatwa MUI, memuat ketentuan bahwa di antara produk yang tidak dapat disertifikasi halal adalah;

a. Produk yang menggunakan nama dan/atau simbol-simbol kekufuran, kemaksiatan, dan/atau berkonotasi negatif;

b. Produk yang menggunakan nama benda/hewan yang diharamkan, kecuali
1) yang telah mentradisi (‘urf) yang dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan
2) yang menurut pandangan umum tidak ada kekhawatiran adanya penafsiran kebolehan mengkonsumsi hewan yang diharamkan tersebut
3) yang mempunyai makna lain yang relevan dan secara empirik telah digunakan secara umum

c. Produk yang berbentuk babi dan anjing dengan berbagai desainnya

d. Produk yang menggunakan kemasan bergambar babi dan anjing sebagai fokus utama

e. Produk yang memiliki rasa/aroma (flavour) unsur benda atau hewan yang diharamkan

f. Produk yang menggunakan kemasan yang berbentuk dan/atau bergambar erotis dan porno

Artikel lainnya: Bunga Tabebuya Bermekaran di Jakarta, Netizen: Kayak Sakura di Jepang

 

Related Articles

Berita Terpopuler

Berita Pilihan